Ahad, 27 April 2014

ILA GALIGO (Kisah kepulangan la Galigo ke cina dan terpikatnya kepada Ida Batangeng

. Lalu berangkatlah I La Galigo sampai ke istana Lakko Manurungnge Mai ri Luwu. Setelah tiba dilihatnya jamuan lengkap, ditunggui oleh puluhan dayang-dayang. Bertanyalah I La Galigo :
“Apa gerangan yang telah terjadi wahai para dayang-dayang, sehingga di sini tersedia jamuan lengkap yang kalian tunggui, padahal tidak ada raja yang duduk dihadapan kalian ?”
Para dayang-dayang lalu menjawab:
“Santapan sehari-hari wahai Paduka yang mulia untuk Baginda (Sawerigading) yang pergi berlayar, mengasingkan dirinya dinegeri yang jauh. Seorang pula yang telah gaib, melayang naik ke Botting-Langi’ (Tenriabeng, adik kembar Sawerigading), menemukan jodoh di Ruwa Lette. Beliaulah yang disiapkan santapannya.”
Berkata I La Galigo:
“Kumpulkan segenap dayang-dayang ini wahai Ina! Janganlah kalian menunggui jamuan, padahal di hadapan kalian tidak ada seorangpun raja yang bersantap.”
Sesudah itu I La Galigo meneruskan langkahnya hingga ke ruangan tempat penyimpanan Genrang mpulaweng Manurungnge Mai ri Luwu. Lalu diraihnya Genrang itu, kemudian ditabuhnya bersama-sama dengan La Sulolipu, suara
genrangnya bertalu-talu. Tak ubahnya bunyi genrang apabila Sawerigading yang menabuh bersama La Pananrang.
Maka bangkitlah Sawerigading di tepat tidurnya, sembari berkata:
“Telah tiba wahai adinda Cudai, putramu di Luwu. Kanda dapat mendengarkan bunyi gendangnya sampai kemari.”
Batara Lattu’ pun menggeliat diatas pembaringannya sambil berkata:
“Telah tiba nian putranda di Luwu, bermukim di tanah leluhurnya Wattang mpare sambil menabuh genrang mpluaweng manurungnge, bersama-sama La Pananrang.”
Berkatalah sang pengiring/pengawal Batara Lattu sambil menghaturkan sembah sujud:
“Konon kabarnya wahai Paduka yang mulia! Dia adalah putranda dari ananda Sawerigading yang berbalasan dengan putranya La Pananrang menabuh genderang di luar.”
Batara Lattu, berkata:
“Suruhlah ia masuk ke dalam kamarku, agar aku bertutur sapa dengan bocah itu.”
Maka berjalanlah I Lagaligo memasuki kamar kakeknya, Batara Lattu. Iapun menghaturkan sembah sujud sebanyak tiga kali, kemudian mengambil tempat duduk dihadapan Batara Lattu. Berkatalah Batara Lattu:
“Tinggallah dikau di Luwu wahai ananda Galigo, menemaniku, selaku oenggati ayahandamu sebagai Pangeran Mahkota di ibu kota kerajaan Luwu.”
I La Galigo menghaturkan sembah sujud sambil berkta:
“Tapak tangan hamba hanya sekedar gumpalan darah, tenggorokan hamba pun tak ubahnya kulit bawang. Semoga nian hamba tidak kualat dalam menjawab titah paduka.”
lanjut La Galigo:
“Mohon restu paduka yang mulia. Hamba tidak dapat tinggal menetap di Luwu ini, sebab adinda We Tenridio’ sedang terserang penyakit parah. Ia mengidap penyakit yang menuntut diadakannya upacara tradisi di negeri Luwu, sebagaimana halnya yang pernah dilakukan bagi Baginda Ratu yang mulia, Mallajangnge ri Kalempi’na. Demikianlah waha Paduka yang mulia, sehingga ayahanda tercinta Opunna Ware menitahkan hamba untuk menjemput Genrang mpulaweng anurungngE di Luwu ini.”
Berkatalah Batara Lattu:
“Kalaupun demikian berangkatlah ke tanah Ugi wahai ananda Galigo untuk mengantarkan Genrang pluaweng ManurungngE. Kelak, setelah selesai penyelenggaraan upacara selamatan bagi We Dio’, kembalilah kemari, untuk menggantikan ayahandamu sebagai penguasa di Wattang mpare.”
Sesudah selesai bertutur sapa dengan kakeknya, I Lagaligo pun melangkah ke luar. Berkisar satu tahun lamanya I Lagaligo tinggal di Luwu menunggui kakek dan ibu-ibu tirinya, barulah I Lagaligo bersama segenap sepupunya dan seluruh pengiringnya berlayar kembali menuju Cina. Diboyonglah Genrang mpulaweng ManurungngE ri Luw bersamanya.
Upacara selamaan We Dio’ pun diselenggarakan. Sudah empat puluh hari empat puluh malam lamanya penduduk bergembira ria di Latanete sambil memanggang kerbau. Berdatanganlah segenap sepupu I Lagaligo yang perempuan untuk menyaksikan keramaian di Latanete.
Pendopo penuh sesak dengan penduduk yang berdatanagan dari seganap penjuru. Tiada terkatakan ramainya suasana di Cina. Para anak-anak Datu yang tujuh puluh orang itu saling bergantian menabuh genderang, sehingga bunyinya pun bertalu-talu tiada hentinya. Tiada sekejappun genderang itu berhenti ditabuh silih berganti. I Lagaligo berpasangan dengan I La Sulolipu, La Pawennari dengan Sida’Manasa To Bulo’E, La Patenrongi dengan I La Pallajareng, dan berpasanganlah La Tenripale To Lamuru’E dengan La Pammusureng.
Para anak datu yang tujuh puluh orang itu tidak kunjung terlelap. Ingin pulalah I Da’Batangeng, Punna Lipu’E Cina Rilau, puteri La Makkasau menyaksikan keramaian di Latanete, maka bertitahlah ibundanya:
“Wahai anada I Da’Batangeng! Janganlah hendaknya ananda berkunjung ke Cina, hanya untuk menyaksikan keramaian di Latanete/Sinukkerenna I La Galigo/dari Luwu/Cobo’-cobonna maccariwakka I La Semmaga, tidak menyegani sesamanya raja, dianggapnya bahwa hanya dirinyalah raja yang berkuasa di kolong langit. Jangan sampai ditahannya usungan tumpanganmu dan tidak dibiarkannya dikau pulang kembali ke negerimu Cina Rilau.”
Berkatalah La Makkasau, ayahanda I Da’Batangeng, bahwa:
“Mengapakah gerangan wahai ibundanya I Da’Batangeng, maka dikau tidak memperkenankan keinginan putrimu pergi ke Cina, untuk menyaksikan keramaian di Latanete.”
Berkata pula Punna Lipu’E Cina Rilau (La MAkkasau):
“Kalaupun ternyata usungannya ditahan I La Galigo pakah salahnya jikalau ia dijodohkan dengan sepupunya itu. Biarlah putri kita pergi ke Cina, menyaksikan keramaian di Latanete.”
Maka berdandanlah I Da’Batangeng, bersalin pakaian yang indah lalu berangkatlah menuju Cina untuk menyaksikan keramaian di Latanete. Hanya dalam sekejap saja maka tibalah usungan yang membawa I Da’Batangeng. Ia lalu turun di depan istana. Ketika itu I La Galigo sedang mengadu ayam di atas arena adu ayam.
Ketika La Galigo menoleh, dilihatnya sepupunya yang sedang turun dari usungan, lalu melangkahkan kaki naik ke istana. Berkatalah La Galigo:
“Siapakah gerangan putri mahkota nan cantik jelita yang barusan tadi tiba dengan usungan ?”
La Pallajareng, menyahut:
“Rupanya dinda Galigo tidak mengenal sepupu kita Punna Lipu’E Cina Rilau. Ia bernama I Da’Batangeng, puteri Baginda La Makkasau.”
Serta merta I La Galigo mencampakkan ayam jagonya lalu bergegas melangkah ke istana untuk menyusul I Da’Batangeng. La Galigo langsung menuju ke atas pelaminan (lamming) menabuh genderang, berpasangan dengan La Sulolipu. Tabuhan genderangnya berbunyi seperti suara manusia:
“Dahului-dahuluilah si orang Walana itu. Cegat, cegatlah si orang Solo’. Dahuluilah bersanding di atas pelaminan emas. Sungguh takkan kubiarkan Punna Lipu’E Cina Rilau kebali kenegerinya. Saya berkeinginan menyandera usungan putri juwita dari Cina Rilau.”
Bergantian pamandanya menasehati La Galigo, demikian pula ayahandanya turut menasehatkan, bahwa:
“Janganlah wahai ananda Semmagga engkau menyandera usungan dari Cina Rilau. Jangan sampai hal itu menurunkan martabat pamndamu La Makkasau. Jikalau susungan putrinya tersandera. Biarkalah sepupumu itu kembali ke kampung halamannya.”
I La Galigo tidak sudi mendengarkan nasehat ayahnya, lalu berkata:
“Perkenankanlah wahai ayahanda adindaku I Da’batangeng tetap tinggal di istana Latanete, sementara itu ayahanda mengirimkan utusan untuk meminangnya pada baginda La Makkasau di Cina Rilau.”
Berbalaslah Sawerigading:
“Mengapakah gerangan wahai ananda Galigo engkau berkeinginan menyandera usungan dari Cina Rilau, padahal kita tidak menguasai wilayah kekuasaan pamandamu. Kita tidak dapat memaksakan kehendak sendiri terhadapnya.”
Namun I La Galigo sudah lupa diri, tidak sudi lagi mendengarkan nasehat.

Tiada ulasan:

Catat Ulasan