Serat Centhini ditulis pada abad XIX oleh tiga orang abdi dalem
Kasunanan Surakarta, yaitu: Kyai Yasadipura I, Kyai Ranggasutrasno dan
Raden Ngabehi Sastradipura (Kyai Haji Ahmad Ilhar). Penulisan itu atas
perintah putra mahkota, Kanjeng Gusti Pangeran Adipati Anom Amangku
Nagara III yang kemudian menjadi raja bergelar Sunan Paku Buwana V
(1820–1823).
Serat Centhini menceritakan
perjalanan hidup Syaikh Among Raga, salah seorang keturunan Sunan Giri
yang melarikan diri setelah Keraton Giri diserang dan diduduki oleh
tentara Sultan Agung yang dibantu Pangeran Pekik dari Surabaya. Syaikh
Among Raga bersembunyi dan tinggal di satu pesantren ke pesantren lain
sebagai santri kelana. Di situlah Syaikh Among Raga banyak mendapatkan pengajaran agama Islam, khususnya tentang kitab-kitab klasik (kitab kuning). Serat Centhini
menyebutkan tidak kurang dari 20 nama kitab klasik, yang hingga kini
mayoritasnya masih dikenal dan dipakai sebagai pegangan di pesantren.[1]
Mengenai Kitab Fiqih dan Ushul Fiqih, Serat Centhini di antaranya menyebutkan Kitab Mukarar, Sujak, Kitab Ibnu Kajar, Ilah, Subkah, dan Kitab Sittin.[3] Kitab Mukarar tak lain adalah Kitab Al-Muharrar karya Muhammad ar–Rafi’i yang digunakan secara luas oleh penganut Mazhab Syafii. Kitab Mukarar pernah digubah kembali oleh Syarif an-Nawawi dengan judul Minhâj al–Thâlibin yang di Jawa dikenal dengan nama kitab Nawawi.[4] Kitab Sujak maksudnya adalah kitab Mukhtasar fî at-Târikh ’ala Madzhab al-Imâm asy-Syâfi’i karya Kadi (Qadhi) Abu Syuja’.
Kitab Ibnu Kajar menunjuk karya Ibn Hajar al-Haitsami yang berjudul Tuhfat al-Muhtâj. Kitab juga disebut Kitab Tuhpah
dan banyak dijadikan pegangan oleh para kyai. Pada abad XVIII kitab ini
sebagian sudah diterjemahkan dan dialihaksarakan dalam bahasa Jawa. [5]
Kitab Idah yang dimaksud adalah Kitab Idhâh fî al-Fiqh, sedangkan kitab Subakh kemungkinan menunjuk pada kitab Ash-Shuhabah fî al-Mawâ’izh wa al-Adab min Hadîts Rasûl Allâh karya Salama al-Khuda’i.
Adapun yang dimaksud Kitab Sittin adalah kitab As- Sittûn Mas’alah fî al-Fiqh karya Muhammad al-Zahid al-Mishri.[6]
Serat Centhini menyebut tidak kurang dari delapan kitab akidah dan tauhid. Yaitu:
- Kitab Semarakandi, menunjuk kitab Bayân ‘Aqîdah al-Ushûl karya Ibrahim as-Samarqandi.
- Kitab Durat yaitu Kitab Ad-Durrah karya Yusuf al-Sanusi al-Hassani.
- Kitab Talmisan - juga disebut Kitab Tilmisani– adalah karya Umar bin Ibrahim al-Tilmisani yang berisi komentar atas Kitab Durah.
- Kitab Asanusi, karya al-Sanusi yang juga merupakan komentar atas Kitab Durah.
- Kitab Sail, menunjuk pada Kitab Masâ’il karya Abu al-Laits as-Samarqandi. Kitab ini juga dikenal dengan nama Bayân’ Aqîdah al-Ushûl.
- Kitab Patakul Mubin yaitu kitab Fath al-Mubîn karya Ibrahim bin Muhammad al-Bajuri.
- Kitab Tasdik menunjuk pada kitab Bayân at-Tasdîq.
- Kitab Juwahiru menunjuk pada Kitab Al-Jawâhir ats-Tsaniyah fî Syarh as-Sanusiyyah, ditulis oleh Abdullah as-Sughayir Suwaidan.
Serat Centhini juga menyebut kitab tafsir, seperti Tepsir Baelawi dan Tepsir Jalalen.[7]Tepsir Baelawi adalah kitab Anwâr at-Tamsîl wa Asrâr at-Ta’wîl karya Abdullah bin Umar al-Baidhawi, lebih dikenal sebagai Tafsîr al-Baydhâwî. Adapun Tepsir Jalalen menunjuk pada Tafsîr al-Jalâlayn
karya Jalal ad-Din al-Mahalli dan Jalal al-Din al-Suyuthi. Kedua kitab
ini hingga sekarang sangat dikenal dan digunakan di pesantren.
Dalam bidang tasawuf Serat Centhini sering menyebut tiga kitab, yaitu: Kitab Ulumodin, Akhidah dan Insan Kamil.[8]
Kitab Ulumodin adalah kitab Ihyâ’ ‘Ulûm ad-Dîn karya Hujjah al-Islam Imam al-Ghazali. Kitab Akhida tak lain adalah kitab Hidâyah al-Adhkiya
karya Zain al-Din ‘Ali al-Malibari yang ditulis dalam bentuk sajak pada
tahun 1509. Kedua kitab tasawuf ini mengajarkan tasawuf yang bersifat
ortodoks, dalam arti tetap membedakan makhluk dan Pencipta serta lebih
menekankan pada syariah.
Kitab Insan Kamil cukup dikenal di masyarakat Jawa karena ajarannya yang sesuai dengan kepercayaan Jawa asli, yaitu manunggaling kawulo lan gusti.
Banyaknya kitab klasik (Kitab Kuning) yang disebut dalam Serat Centhini
itu tidak mengherankan, karena para penulisnya lulusan pesantren. Kyai
Yasadipura I, belajar selama hampir tujuh tahun di pesantren Kedhu yang
dipimpin Kyai Anggamaya.[9] Raden Ngabehi Sastradipura bahkan selepas
pesantren melanjutkan pendidikan ke Makkah. Setelah kembali namanya
menjadi Kyai Haji Ahmad Ilhar.[10]
Penyebutan kitab-kitab klasik di dalam Serat Centhini itu juga menunjukkan bahwa syariah (ajaran) islam banyak mewarnai kehidupan masyarakat jawa hingga ke keraton.
Hal itu misalnya tampak dalam nasihat Syaikh
Among Raga kepada istrinya, Ken Tambang Raras. Ia mengatakan bahwa
syariah bersama dengan tarekat merupakan wadhah (tempat) untuk menanam makrifat dan hakikat sebagai perwujudan wiji nugraha (benih anugerah). Benih harus ditanam di wadhah (tempat) yang baik. Jika ditanam di tempat yang jelek, maka akan menghasilkan sesuatu yang jelek pula. Syariah sebagai wadhah
sekaligus dasar agama, dengan demikian, harus dipegang teguh dan
dijalankan dengan sebaik-baiknya. Mencari kesempurnaan hidup (ilmu makrifat dan hakekat) tanpa didasari syariah yang kuat akan sangat membahayakan.[11]
http://seratcenthini.wordpress.com/2009/11/20/identifikasi-pengaruh-berbagai-kitab-klasik-dalam-serat-centhini/#more-154
Tiada ulasan:
Catat Ulasan